Lebaran dan Mudik yang Abadi

Category: Khazanah Published: Tuesday, 18 September 2012

Lebaran adalah hari raya yang ditunggu-tunggu oleh hampir semua penduduk negeri ini muslim maupun non-muslim. Karena pentingnya hari-hari lebaran ini, tanpa kita sadari tidak jarang lebaran-lebaran inimenjadi milestones tersendiri dalam perjalanan hidup kita. Coba kita tengok kebelakang misalnya, apa yang terjadi dengan lebaran-lebaran yang telah kita lewati dalam hidup ini ?. Bila kita bisa belajar dari masa yang telah lewat, insyaAllah kita akan lebih siap menghadapi masa yang akan datang.

 

Dahulu sewaktu saya kecil 40-an tahun lalu, kegembiraan menjelang lebaran adalah identik dengan sarung baru (karena di lingkungan pesantren) dan baju baru. Di luar lebaran – kita anak miskin di desa – tidak mendapatkan sarung dan baju baru. Lebaran juga identik dengan melimpahnya makanan dari berbagai jenis kue-kue yang disajikan oleh hampir seluruh penduduk di kampung. Di luar lebaran, kita jarang sekali makan kue. Karena kegembiraan lebaran ini terasa hanya sesaat (beberapa hari saja), sepanjang tahun kita merindukan lebaran – dan merasa sedih bila lebaran telah lewat.

 

Kemudian masa remaja di perantauan 30-an tahun lewat, lebaran adalah pulang kampung untuk ketemu orang tua. Ketemu saudara-saudara semasa kecil melepas kerinduan. Lebaran menjadi waktu yang sangat dirindukan untuk ketemu mereka ini dan berbagi cerita. Saat itu tentu belum ada telepon, sms, bbm dan sejenisnya – jadi lebaran inilah arena untuk berbagi kabar itu. Bila lebaran lewat, rasanya sangat berat untuk kembali ke kota meneruskan tugas untuk mencari ilmu.

 

Ketika memasuki dunia kerja dan mulai berumah tangga 20-an tahun lewat; lebaran adalah untuk berkunjung ke – 2 – kampung sekaligus; kampung kita sendiri dan kampungnya pasangan hidup kita. Lebaran juga kesempatan membahagiakan anak-anak untuk ketemu nenek-nenek mereka. Ketika lebaran berakhir, tidak jarang diwarnai tangisan anak-anak dan juga nenek-nenek-nya yang enggan berpisah kembali dengan cucu-cucunya yang ketemunya hanya setahun sekali.

 

Kemudian tanpa sadar, kita-pun menjadi semakin tua. 10-an tahun terakhir tidak ada lagi nenek-nenek dan kakek-kakek dari anak-anak kita karena mereka semua telah berpulang ke kampungnya yang abadi. Pulang kampung dan mudik menjadi kurang berarti karena disamping anak-anak telah dewasa, di kampung juga sudah tidak ada lagi orang tua-orang tuayang harus dikunjungi.

 

Lantas pelajaran apa yang kita bisa ambil dari lebaran- ke lebaran tersebut ?. Kesenangan-kesenangan yang ditunggu-tunggu sepanjang tahun tersebut semuanya berakhir paska lebaran. Dan ini berulang sepanjang tahun berpuluh tahun. Kita rela bersusah-payah sepanjang tahun mengumpulkan tabungan, bermacet-macet di perjalanan, berdesak-desakan di kendaraan umum – semuanya untuk kesenangan sesaat yang kita semua tahu akan segera berakhir.

 

Bukan maksud saya meng-akhiri tradisi kegembiraan lebaran ini; tetapi bagaimana kita bisa belajar dari ke-fana-an atau ke-tidak abadi-an- kesenangan sesaat lebaran ini, untuk mempersiapkan kesenangan yang bersifat kekal abadi ketika kita mudik ke kampung halaman kita yang sesungguhnya yaitu kampung akhirat nanti.

 

Kalau kita bersedia bekerja keras sepanjang tahun, mengeluarkan seluruh resources yang ada untuk kesenangan sesaat yang namanya lebaran dan mudik lebaran; mengapa kita tidak mulai berpikir juga bekerja keras sepanjang tahun dan mengeluarkan seluruh resources yang ada untuk mudik kita yang abadi kelak ?.

 

Kita tentu merindukan ayah ibu kita yang sudah tiada, anak-anak kita-pun merindukan nenek-nenek dan kakek-kakek yang bahkan sering kasih sayangnya terhadap cucu-cucunya melebihi apa yang bisa kita berikan. Bila mereka menyiapkan masakan dan kue-kue lebaran, targetnya bukan untuk kita anak-anaknya, tetapi untuk anak-anak kita yang adalah cucu-cucu mereka...

 

Kita bisa berkumpul kembali dengan mereka bila kita berusaha se-keras-nya, Allah-pun menjanjikan pertemuan ini : “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS 52 :21).

 

Kegembiraan lebaran yang fana akan segera berakhir, tetapi ada kegembiraan abadi yang akan bisa kita nikmati bersama anak-anak kita, cucu-cucu kita dan ayah-ibu kita, kakek nenek dari anak-anak kita. Ibu – Bapak kita tentu merindukan kita dan kita-pun bersama anak-anak kita juga merindukan mereka, tidak-kah kita sangat ingin untuk bertemu kembali dengan mereka kelak di hari lebaran yang abadi – di kampung yang abadi pula – yaitu kampung akhirat ?.

 

Maka ketika lebaran yang sesaat ini berakhir, ayo mulai bekerja keras kembali, bukan untuk kesenangan yang sesaat tetapi untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk pulang kampung kita yang abadi.

 

Selamat Iedul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, taqabballahu minna wa minkum, taqabbal ya kariim....

[Tulisan ini diambil dari www.geraidinar.com dengan seizin penulis]