Kenapa Kita Menganut Agama Islam? (Bagian 3-Tamat)
Setidaknya ada sepuluh alasan mengapa kita menganut agama Islam. Tiga alasan pertama sudah kita bahas pada tulisan sebelumnya Kenapa Kita Menganut Agama Islam? (bagian 1). Tiga alasan berikutnya telah kita bahas juga pada tulisan berjudul Kenapa Kita Menganut Agama Islam? (bagian 2). Alasan-alasan sisanya ialah:
Ketujuh, kita menganut agama Islam karena tidak mau menjadi orang yang berdusta sesudah mengaku beriman. Kita sadar bahwa sekedar berikrar syahadatain tidak serta-merta memastikan diri menjadi seorang yang benar imannya. Bahkan berpeluang masuk ke dalam golongan kaum munafik. Wa na’udzubillaahi min dzaalika...!
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَوَلَقَدْ فَتَنَّا
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
Kedelapan, kita menganut agama Islam karena menyadari bahwa iman tidak bisa diwarisi dari orangtua atau nenek moyang kita. Iman dan Islam bukanlah perkara yang secara otomatis diwariskan dari orang-tua kepada anak-keturunannya. Menjadi orang beriman harus melalui sebuah perjuangan memelihara iman dan tauhid serta kesungguhan doa kepada Allah سبحانه و تعالىagar senantiasa menunjuki kita jalan hidayah dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Seorang ustadz yang alim dan sholeh tidak serta-merta mempunyai anak-keturunan yang juga alim dan sholeh. Jangankan seorang ustadz, bahkan seorang Nabiyullah-pun tidak selalu anaknya pasti menjadi orang beriman. Hal ini kita dapati di dalam kisah Nabiyullah Nuh ‘alaihis-salam.
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ
Allah سبحانه و تعالىmenegur Nabi Nuh agar jangan menganggap puteranya yang condong memilih kafir daripada iman sebagai bagian dari keluarganya. Bahkan Allah melarang Nabi Nuh mengajukan permohonan doa yang mencerminkan seolah dirinya selaku Nabi tidak berpengetahuan dalam persoalan mendasar ini. Yaitu persoalan aqidah sebagai pengikat sejati antar manusia, bahkan antara anak dan ayah. Pengikat sejati antar manusia adalah iman dan tauhid, bukan darah dan garis keturunan.
Demikian pula dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. Beliau dengan tegas memperingatkan kepada anak-keturunannya agar jangan mengandalkan garis keturunan sebagai hal yang otomatis mendatangkan keistimewaan dibandingkan orang lainnya yang tidak bergaris keturunan hingga ke Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. Tidak mentang-mentang seseorang merupakan bagian dari ahli bait Rasulullah صلى الله عليه و سلمkemudian ia menjadi yakin dan pasti bahwa dirinya bakal masuk surga dan memperoleh syafaat dari Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. Tidak...!
Kesembilan, kita menganut agama Islam karena faham bahwa zaman yang sedang berlangsung dewasa ini merupakan era penuh fitnah dimana ancaman utama ialah munculnya gejala “murtad tanpa sadar”. Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلمmenggambarkannya seperti sepenggal malam yang gelap-gulita.
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
Hadits di atas menggambarkan dengan tepat sekali kondisi dunia dewasa ini. Bila jujur dalam menilai, semua kita pasti merasakan betapa fitnah telah merebak ke segenap lini kehidupan. Entah itu fitnah ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, media, militer dan lain-lainnya. Sehingga Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلمtidak mengatakan bahwa gejala yang muncul ialah “di pagi hari seorang lelaki berbuat kebaikan, lalu berbuat kejahatan di sore harinya.” Tidak, Nabi tidak berkata demikian..! Sebab sejahat-jahatnya seseorang, namun bila iman dan tauhid masih bersemayam di dalam dadanya, ia masih berpeluang diampuni Allah سبحانه و تعالى. Jelas-tegas Nabi muhammad صلى الله عليه و سلمmengatakan “pagi beriman, sorenya kafir..!” Gejala “murtad tanpa sadar” inilah yang harus kita waspadai..!
Dalam hadits lainnya, kita temukan prediksi Nabi muhammad صلى الله عليه و سلمyang dengan tepat menggambarkan keadaan kaum muslimin dewasa ini.
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْشِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
Tidakkah seperti itu kondisi sebagian besar kaum muslimin dewasa ini? Mereka mengekor secara membabi-buta kepada “the western civilization” (peradaban barat) yang tidak lain ialah “the judeo-christian civilization” (peradaban yahudi-nasrani) yang sedang mendominasi dunia saat ini. Dalam berideologi meyakini faham sekularisme, humanisme, pluralisme dan liberalisme. Dalam berhukum menolak hukum Allah سبحانه و تعالىdan membanggakan hukum produk manusia. Dalam berbudaya menjadikan syahwat sebagai tujuan bukan dzikrullah (mengingat Allah). Menjadikan riba sebagai praktek utama berekonomi yang diterima tanpa peduli larangan dan ancaman Allah سبحانه و تعال. Ikatan sosial dirajut berlandaskan faham nasionalisme bukan aqidah tauhid sebagaimana yang Allah perintahkan. Dalam berpolitik menjadikan faham Machiavelli (tujuan menghalalkan segala cara) serta demokrasi sebagai acuan utama, bukannya memperjuangkan tegaknya kedaulatan Allah سبحانه و تعالىdengan menerapkan syariah Islam sebagai aturan bersama. Media menjadi sarana penyebar-luasan kebohongan, kerusakan, humbar aurat, kelalaian bahkan kemusyrikan, bukan menjadi penerang yang menyadarkan manusia akan hakikat dan tujuan hidupnya. Sekolah formal sebagai sarana utama pendidikan malah menjadi penyebab utama disintegrasi keluarga serta tempat dimana anak belajar menjadi nakal dan mempersekutukan Allah, bukan menjadi santun dan ber-tauhid.
Pantas bilamana Allah سبحانه و تعالىmemperingatkan kita akan bahaya kaum yahudi dan nasrani yang selalu menginginkan kaum muslimin mengekor kepada millah (baca: jalan hidup) mereka. Bahkan Allah سبحانه و تعالىmemperingatkan kita bahwa jika loyalitas diserahkan kepada kaum yahudi dan nasrani, maka Allah tidak lagi memandang kita masih beragama Islam, alias murtad..!
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ
Allah jelas-tegas menyatakan bahwa "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Islam itulah petunjuk Allah. Islam itulah petunjuk yang benar. Mengapa sebagian kita mengikuti petunjuk kaum yahudi dan nasrani? Pantas dewasa ini sebagian besar kaum muslimin tidak merasakan pertolongan dan perlindungan Allah, sebab mereka sibuk mencari pertolongan dan perlindungan dari kaum yahudi dan nasrani..!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
Kesepuluh, kita menganut agama Islam karena sadar bahwa saat ini kaum muslimin sedang hidup di babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Dan babak ini merupakan “the darkest ages of the Islamic era” (babak paling kelam dalam sejarah Islam). Di babak ini kaum muslimin hidup di bawah dominasi kepemimpinan mulkan jabbriyyan (para penguasa yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Allah dan Rasul-Nya). Belum pernah di dalam sejarah ummat Islam kita mengalami babak yang lebih kelam daripada babak ini. Simak hadits Nabiصلى الله عليه و سلمberikut ini:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِفَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Pada babak ketiga kaum muslimin sempat mengalami kepemimpinan yang juga bermasalah karena yang memimpin adalah para khalifah yang dijuluki Nabi صلى الله عليه و سلمsebagai mulkan aadhdhon (para raja yang menggigit). Mengapa? Sebab pada masa itu pergantian khalifah bak sistem kerajaan yaitu diwariskan dalam lingkup keluarga raja secara turun-temurun. Sehingga mereka dijuluki para raja. Lalu mengapa disebutmenggigit? Karena tidak sedikit di antara mereka yang memang berlaku zalim secara pribadinya, namun betapapun para kahliafah tersebut masih memenuhi kriteria sebagai ulil amri dalam hal kepemimpinannya dimana bila ada perselisihan, mereka masih menjadikan Allah (Al-Qur’an) serta Ar-Rasul (As-Sunnah) sebagai rujukan utama. Tidak demikian halnya di babak keempat dewasa ini. Para pemimpin dan pembesar yang ada mengambil rujukan selain Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan persoalan masyarakat di dalam negara yang dipimpinnya. Inilah hal yang paling membedakan antara babak ketiga dengan babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam. Di babak ketiga ummat masih merasakan kepemimpinan “ulil amri” sedangkan di babak keempat ummat tidak memiliki “ulil amri” sebab yang ada hanyalah para “pemimpin dan pembesar” yang mengajak masyarakat bukan menuju keridhoan Allah سبحانه و تعالى, malah menuju kemurkaan-Nya. Wa na’udzubillaahi min dzaalika..!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ
Ya Allah, ajarkanlah kami bagaimana caranya beristiqomah menjadikan Kitab-Mu dan Sunnah Nabi-Mu Muhammad صلى الله عليه و سلمsebagai pemimpin kami di era fitnah ketiadaan ulil amri dewasa ini...