Imajinasi dan Pendidikan Syirik Modern

Category: Benteng Terakhir Published: Monday, 29 October 2012

Jika ruang imajinasi dibuka selebar-lebarnya, segala khurafat dan takhayul leluasa masuk dan niscaya tidak menyisakan ruang untuk pengertian tentang realita.

Imajinasi, sampai pada kadar tertentu, mungkin memang berguna, terutama bagi anak-anak di bawah 7 tahun, di mana khayalan adalah bagian dari bermain, dan bermain adalah cara belajar awal mereka.

Bagi anak-anak, imajinasi menjadi penting dalam bermain. Anak yang hanya memiliki sebuah boneka, dapat ”menghadirkan” berbagai hal lain dalam benaknya untuk melengkapi permainannya dengan boneka tersebut. Imajinasi juga dapat membantu anak memperkaya daya pikirnya dengan berbagai hal menyangkut perasaan maupun berpikir kreatif. Jadi apakah imajinasi pasti selalu baik bagi anak?

Semua orang sepakat bahwa terlalu banyak mengkhayal atau berimajinasi akan membahayakan bagi kesehatan perkembangan jiwanya. Jika anak sudah tak mau diajak melihat realitas atau hal-hal yang nyata, atau jika anak sudah menganggap apa yang khayalan sebagai benar-benar ada, maka ini berbahaya. Imajinasi yang dibuka tanpa batas dan pengarahan akan menjadi boomerang bagi pendidikan yang sehat.

Dewasa ini banyak sekali film kartun, animasi maupun film biasa (dengan pemain benar-benar manusia seperti film Harry Potter) yang berdasarkan pada cerita khayalan. Bukan hanya untuk anak-anak balita saja, bahkan juga sampai untuk remaja dan dewasa, film imajinatif seperti sudah menjadi kebutuhan dunia modern ini. Berkembangnya teknik perfilman dan pemotretan membuat visualisasi imajinasi menjadi nyaris tanpa batas.

Bukan sekedar fiksi biasa, tetapi alur cerita, penokohan, bahkan setting tempat, semua berdasarkan imajinasi si pengarang atau produser. Artinya makhluk seperti dalam gambaran mereka ternyata tak pernah ada, atau bahkan tempat yang menjadi latar cerita-pun hanya khayalan. Katakanlah dalam film laris Lord of the Rings, Eragon dan sebagainya.

Namun ada yang sebenarnya lebih meresahkan lagi dan membahayakan, khususnya bagi keimanan kita, ummat Islam. Yaitu hadirnya unsur-unsur cerita yang berbau sihir, maupun sihir dan mistik yang terang-terangan. Kita ummat Islam, sejak dari awal bab kitab suci kita, yaitu Al-Qur’anul Karim, iman terhadap yang ghaib merupakan bagian dari keimanan inti kita (lihat QS Al-Baqarah ayat 1-3). Artinya, sebagai muslim, kita wajib mempercayai bahwa dunia ghaib itu ada, bahkan Allah SWT yang kita sembah adalah ghaib bagi kita. Namun yang ghaib bukan hanya Allah, tapi juga dunia ghaib termasuk makhluk bangsa jin dan dunianya, juga dunia sihir. Bahkan iblis adalah bangsa jin, sedangkan perbuatan sihir termasuk dosa besar yaitu mempersekutukan Allah / syirik.

Coba kita tengok beberapa film kartun, misalnya: Pokemon. Dalam kisahnya, pokemon berarti pocket monster atau monster kantong atau....jin kantong? Dalam kisahnya, pokemon bisa disimpan di kantong dan jika diperlukan ia bisa di-”aktifkan” untuk membantu si pemilik. Apa bedanya dengan konsep ”khadam” (jin pelayan) dalam budaya timur? Jin pelayan yang dimiliki seseorang akan membantu pemiliknya (dengan izin Allah tentunya) tergantung perjanjiannya. Ada yang membantu pemiliknya melawan musuh dan lain-lain. Persis sama dengan pokemon, hanya saja pokemon adalah kartun jepang. Contoh lain adalah Doraemon, kucing ajaib milik anak pemalas bernama Nobita yang mempunyai kantong ajaib yang dapat mengeluarkan apa saja yang diminta. Masih ada lagi beberapa film kartun jepang yang bertema film kartun laga yang juga mengusung dunia sihir dan jin.

Agak lebih besar sedikit, anak kita disuguhkan film Harry Potter, penyihir muda dari Inggris yang mampu mengalahkan tokoh penyihir paling digjaya. Jelas-jelas ini adalah film promosi sihir. Seolah seorang Harry tak mungkin selamat jika ia tidak pandai atau sakti dalam ilmu sihir. Film laris layar lebar Lord of The Rings berkisah tentang dunia khayalan di kawasan Inggris Raya, lengkap dengan bangsa Dwarf, Elf dan lain-lain lagi.

Penulis melihat kemiripan jenis makhluk maupun setting cerita dengan kisah Eragon. Entah di mana letak korelasinya, namun jelas film-film ini mempromosikan sihir sebagai sesuatu kemestian. Memang dalam kisah-kisah itu seolah ada pemisahan antara ”sihir putih” dan ”sihir hitam”. Istilah ”sihir putih” maksudnya sihir untuk kebaikan dan ”sihir hitam” adalah sihir yang dilakukan untuk tujuan-tujuan jahat. Sangat mirip dengan kepercayaan mistik tanah air yang juga membedakan ”sihir putih” dan ”sihir hitam”. Pada prinsipnya sama-sama sihir.

Dalam pandangan Islam, perbuatan sihir, baik yang ”putih” maupun yang ”hitam”, keduanya dilarang bagi orang beriman. Keduanya, ditambah dengan perbuatan berkolaborasi dengan jin, termasuk ke dalam perbuatan-perbuatan yang tak akan diampuni Allah SWT jika sebelum wafat tidak bertobat. Ketiganya termasuk ke dalam katagori syirik nyata atau terang-terangan. Artinya, dosanya sama dengan orang yang menyembah patung.

Memang dengan hanya menontonnya, tidak otomatis menjadikan seseorang menjadi pelaku perbuatan tersebut. Namun dengan rajin menontonnya, bahkan dengan berbagai variasi film, si anak seolah mendapat konfirmasi bahwa dunia ghaib seperti itu adalah sebuah kemestian dalam hidup, jika tidak mengikutinya maka seseorang akan mendapat bahaya.
Mungkin banyak lagi contoh-contoh film yang belum disebutkan di sini, bahkan mungkin juga akan ditemukan lebih banyak lagi jika dicermati dari buku cerita dan komik anak.

Tampaklah di sini bahwa kita harus mempunyai patokan sejauh mana imajinasi masih diperbolehkan, dan sejauh mana segala imajinasi para pengarang maupun sutradara itu kita biarkan memasuki benak pikiran dan pemahaman anak-anak kita:

1. Jika ruang imajinasi dibuka selebar-lebarnya, segala macam khurafat dan takhayul leluasa masuk dan berkuasa dalam benak pikiran anak-anak kita bahkan tidak mustahil sama sekali tidak menyisakan ruang untuk pengertian tentang realita. Oleh karena itu kita harus membatasi jam menonton anak dan juga membatasi sejauh mana khayalan orang yang menciptakan cerita kita biarkan diikuti anak kita. Berikan ruang untuk imajinasi, tapi jangan lupa untuk mengajarkan bagaimana mengendalikannya. Dan dalam hal menonton atau membaca imajinasi orang lain, ajarkan anak untuk bersikap kritis.

2. Untuk melakukan pengawasan terhadap apa yang ditonton anak atau dibaca anak, hendaknya para orangtua selalu ikut mendampingi menonton maupun ikut membaca bersama anak. Jika anak sudah lebih mengerti, ajaklah berdialog dan berikan penjelasan mengapa hal-hal tersebut tidak baik bagi mereka.

3. Bisnis figur kartun bukan hanya terbatas pada segi penanyangan film-filmnya yang menjadi inti masalah, tetapi juga dilengkapi dengan bisnis pelengkap seperti boneka berbagai ukuran dan bahan, gambar-gambar kartu (yang bisa dikembangkan menjadi alat judi oleh para penjualan mainan pikulan), tempat pinsil, tas dan apa saja perlengkapan anak dengan figur-figur tersebut, juga games nintendo ataupun Play station dengan tokoh-tokoh tersebut sebagai pemeran utama. Seluruhnya seolah ‘mengepung’ dunia anak kita sehingga anak merasa seolah: ‘Pokemon ada di mana-mana’. Sehingga lama-kelamaan anak menganggap bahwa Pokemon benar-benar ada dalam dunia nyata. Ini merupakan sarana pembiasaan yang terprogram sehingga anak yang memang pada dasarnya masih belajar mengenali dan memisahkan antara khayalan dan realitas, akan semakin sulit membedakannya.

4. Dari sisi ekonomi, jelas merupakan kerugian materi yang mengarah kepada kemubaziran. Sudah sering kita dengar rengekan anak kita yang minta dibelikan lagi baju atau tas baru karena: “yang ini gambarnya Pokemon, yang itu ‘kan Doraemon, udah ketinggalan zaman”. Sekarang makin banyak barang yang laku dijual bukan karena barangnya memang dibutuhkan oleh masyarakat, namun diburu orang karena gambar atau hiasan atau modelnya. Di sisi lain ini seolah mengajarkan kepada anak tentang konsep ”nilai tambah” terhadap suatu barang atau produk yang sebenarnya merupakan ”nilai kosong”, yaitu bahwa tambahan harganya bukan karena tambahan kualitasnya atau tambahan manfaatnya, tapi semata tambahan nilai modisnya.

Hendaknya kita terus waspada dan bahkan meningkatkan kewaspadaan kita tentang apa yang ditonton, didengar maupun dibaca anak-anak kita, para calon penerus kita.

Dunia ghaib memang bukan wilayah yang bisa diilmiahkan. Namun sekali lagi, kita sadar bahwa dunia itu ada dan bahwa jin memang bisa berbuat hal-hal tertentu (dengan izin Allah), bahkan ada sebagian manusia memang berkolaborasi dengan jin untuk minta kekuatan dan perlindungan. Tegasnya fenomena seperti itu adalah perbuatan syirik, dosa besar mempersekutukan Allah yang tak terampuni. Wallahu’alam.